Senin, 26 Juli 2010

PADA SUATU MASA

Ketika aku memutuskan untuk tidak akan mengingat-ingat yang sudah lewat, ku tata kembali, ku relokasikan pikiranku agar semua tidak berlaku pada semua, artinya apapun itu dimasa manapun jika akan membawa suatu kebaikan kuputuskan lagi akan terus ku ingat-ingat agar bisa kuperbaiki (kata teman2ku aku orangnya plin-plan dan tak kusalahkan mereka atas ucapannya, mungkin iya). Sekitar tahun 2006 dimana aku hidup dalam sebuah kedamaian (sungguh luar biasa masa itu bagiku, aku selalu merasa berada disamping sang khaliq—aku merasa sang khaliq selalu disampingku mendampingiku, dan meninggalkan masa itu bagai makan buah simalakama bagiku saat itu—dituruti ibu yang mati tak dituruti bapak yang mati), sesulit apapun pilihannya namun telah kupilih jalan ini hingga akhirnya seperti ini, mencintai orang yang sangat berarti dalam hidup membuat kita bisa melakoni apa saja yang ingin didramakan orang yang kita cintai. Kembali pada sebuah kedamaian yang menjadi fokus utama ngalur ngidulku kali ini, siapapun pasti akan mengatakan dekat dengan sang khaliq adalah suatu kedamaian, meninggalkan sang khaliq adalah suatu kebodohan yang teramat bodoh untuk seorang hamba seperti aku. Pada suatu masa seorang sahabat menyodorkan pilihannya: “tidak apa-apa ukhti, posisi kita sama, sayapun dulu demikian, semua orang mencintai orang tuanya, tapi ingat Laa To’ata fii makhluk fii ma’siatil Khooliq—ini bukan suatu kesesatan ukhti, tidak ada kesesatan dalam Syahadatain, tidak ada ukhti! Kita memang asing, Islam memang asing, tapi ingat.. berawal Islam itu asing dan akan kembali pada sebuah keterasingan, ukhti ingat semua ini bukan sesat!!”, teringat kembali paras orang yang sangat aku cintai dalam hidupku--Astagfirullaah, tak rela rasanya membiarkan ia menitikkan butiran airmatanya hanya untukku—hanya untuk orang seperti aku, semoga Allah mengampuni ketidakmengertian kami. Mempertahankan sebuah komitmen pribadiku sama saja dengan bunuh diri bagiku—membunuh orang yang sangat aku cintai dalam hidupku, tidak! Kuputuskan aku berhenti ukhti, maaf jika ternyata aku tak berpendirian—maaf jika aku tak bisa mempertahankan pendirianku—maaf jika aku tak bisa berjihad—maaf jika aku termasuk ahlinnaar—aku yakin suatu saat lambat laun ukhti bisa terima keputusan ini, semoga suatu saat kami mendapat hidayah agar aku kembali.
Masa itu selalu kukenang-kenang.., hingga kini. Ingin rasanya mendatangi mereka, bersama mereka, silaturrahmi tanpa menyakiti, ah indah sekali.. masa itu rasanya akan kukenang-kenang lagi.., sampai nanti. Berbeda sekali aku kini dan aku pada masa itu, mengalami suatu kemunduran yang sangat, ku tahu tapi seperti tak mau tahu—ku pahami tapi seolah-olah tak mau memperbaiki, ada apa sebenarnya? Berbicara sangatlah mudah, berkeluh kesah lebih-lebih.. tidakkah sadar sedari awal bahwa waktu tak akan berhenti sejenak saja.. menunggu hidayah jika tetap memilih kegelapan rasanya sama saja, kenapa tidak memilih mati sekalian? Sudahlah.. manusia pada umumnya selalu tidak mau menerima kebenaran karena selalu menganggap diri benar, kekeh pada ego--ego untuk kesalahan, semoga Allah mengampuni keegoan kami. Terus berusaha untuk berbenah diri, kuupayakan agar tidak ada yang tersakiti, selalu kutanamkan dalam hati bahwa semua akan baik-baik saja, tak lupa kuyakini bahwa Rabbi selalu mendampingi—selalu mengampuni, kupastikan aku pasti kembali. Harusnya sebuah janji-sebuah keinginan-angan tidak mesti ditulis-tidak mesti diumbar, tapi semua kuyakini sebagai energi positif untuk sebuah motivasi. Semoga Allah mengampuni......
“Ihdinash shiraathal Mustaqiem, Shiroothallazina an’amta ‘alaihim, Ghairilmaghdu bi ‘alaihim Wa ladhdhoolliin.. Amiin”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SUGENG RAWUH...